Etamnews.com – Samarinda. Kekerasan seksual di Indonesia memiliki angka yang cukup memprihatinkan, pada periode Januari-Februari 2022 saja tercatat ada jumlah sebanyak 1.411 kasus kekerasan seksual, berdasarkan data dari kementerian PPPA.
Kampus dan perguruan tinggi pun bahkan tidak lepas dari maraknya kasus kekerasan seksual. Di Kaltim sendiri, sempat dihebohkan dengan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang dosen Universitas Mulawarman terhadap tiga mahasiswi Fakultas Kehutanan, hingga dilakukan aksi protes di halaman Rektorat Unmul.
Haris Retno, ketua PuSHPA (Pusat Studi Hukum Perempuan dan Anak) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman menyebutkan bahwa fenomena kekerasan seksual di kampus itu bagaikan gunung es.
“Laporan-laporan (kasus kekerasan seksual) itu sebenarnya sudah ada, namun kadang terkendala seperti korbannya takut bersuara, kemudian tidak mengerti harus kemana,” ujarnya saat dihubungi lewat panggilan telepon, Selasa (06/07/22).
PuSHPA sendiri, bekerjasama dengan BEM Fakultas Hukum Unmul akhirnya sempat melakukan survei mengenai kekerasan seksual di Unmul pada awal tahun ini.
Melihat hasil survei itu sendiri, Haris Retno melihat ada masalah relasi kuasa yang menjadi masalah utama terus terjadinya kekerasan seksual di lingkup kampus.
“Ada relasi kuasa yang tidak seimbang, misalnya antara dosen dengan mahasiswi, atasan dengan bawahan, di survei juga muncul laporan kasus antar mahasiswa, tetapi (rupanya) ada relasi senior dan junior.” Ungkapnya.
Haris berpendapat bahwa Unmul terbilang lambat dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual yang ada di lingkup kampusnya, padahal pada tahun 2021 Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sudah mengesahkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 dimana aturan tersebut berisi tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi.
“Dalam Permendikbud itu jelas, kampus harus segera membuat Satgas PKS (Pencegahan Kekerasan Seksual), sampai sekarang di Kaltim kampus-kampus belum punya itu, bahkan Unmul juga belum.”ujarnya.
“Menurut saya Unmul ini sangat lambat untuk implementasi Permendikbud, salah satu contoh misalnya terkait dengan kasus (Fakultas) Kehutanan seharusnya kalau merujuk Permendikbud harus ada membuat satgas juga, meskipun belum ada Satgas PKS tapi bisa membentuk yang sifatnya ad hoc sebagai bentuk tanggung jawab,” tambahnya.
Menurut Haris yang merupakan Dosen di Fakultas Hukum Unmul itu mengatakan pembentukan satgas penting untuk independensi.
“Kalau diserahkan ke fakultas kan kita tidak tahu dinamikanya di fakultas seperti apa, ketika dibuat satgas, artinya kan lintas fakultas,” tekannya.
Haris juga menambahkan bahwa perlu diberikan fasilitas dimana korban-korban kekerasan seksual di kampus dapat melapor.
“Kalau di survei itu, para korban ini kebingungan kalau menghadapi situasi tersebut mesti kemana, ini yang perlu disediakan satu layanan dan diinformasikan kepada seluruh civitas atau warga kampus jika ada kasus-kasus seperti itu mereka harus kemana, saya rasa itu menjadi agenda penting,” ujarnya.
Alumni Doktoral di Unhas tersebut menyayangkan bagaimana Unmul dan kampus-kampus lainnya di Kaltim masih belum bisa memberikan ruang aman untuk para mahasiswanya.
“Kampus ini sebenarnya kan motor perubahan, ruang dikedepankannya nilai-nilai kebenaran dan perubahan. Tapi kadang-kadang di ruang-ruang tertentu kampus justru melanggengkan situasi yang kurang baik. Salah satunya itu tadi, belum ada ruang aman untuk bebas dari kekerasan seksual,” pungkasnya.
(fatih).
Editor : Hidayat.