etamnews.com – Samarinda – BEM KM UNMUL menyampaikan Pada tahun 2019 yang lalu, aksi demonstrasi dan protes besar-besaran oleh mahasiswa dan masyarakat sipil dilakukan serentak di berbagai wilayah karena adanya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dinilai merugikan masyarakat.
Kemudian pada akhirnya pada tahun 2019 itu pula pengesahan nya ditunda. Namun kini tepat di bulan mei 2022 pembahasan itu kembali mencuat dan dimulai melalui rapat Komisi III DPR RI, akan tetapi pihak dari DPR tersebut enggan untuk membuka draf RKHUP ini ke publik. Hal ini pun mengindikasikan bahwa pemerintah dan DPR RI mengulang kesalahan kembali dengan tidak menjunjung tinggi transparansi dan partisipasi publik yang bermakna dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Hingga saat ini tidak terdapat draf terbaru RKHUP yang dipublikasi dan disosialisasikan ke masyarakat umum.
Jika kilas balik pada draf pada bulan September 2019, ada terdapat 24 isu krusial dan kontroversi karena mengancam demokrasi dan dianggap sangat bermasalah. Terkait hal tersebut ada beberapa pasal substansi yang menjadi problematika diantaranya adalah penyerangan harkat dan martabat presiden, Hate speech, Living law, pidana mati. Ketika menelaah kembali dalam pasal-pasal tersebut, pada pasal 218 dan 220 tentang penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden yang salah satu pasal berbunyi “Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan dan martabat diri Presiden dan Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan” (Pasal 218 ayat 1). Pasal ini mengisyarakatkan kedudukan hukum yang berbeda antara Presiden/Wakil presiden dengan warga lainnya.
Hal ini justru tidak sejalan dengan iklim demokrasi dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh konstitusi Indonesia, selain itu pasal penghinaan presiden dan wakil presiden juga akan menimbulkan konflik kepentingan.
Di pasal lain, pasal 354 RKUHP memuat ancaman pidana penjara atau pidana denda bagi setiap orang yang melakukan penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga Negara melalui sosial media atau teknologi informasi lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah berusaha mematikan kebebasan berpendapat yang seharusnya sudah menjadi hak setiap warga negara untuk mengkritik dan menjadi kontrol setiap lembaga negara yang melakukan tindakan sewenang-wenang.
Selain itu, salah satu pasal yang sangat krusial ialah pasal 273 RKUHP dan Pasal 354 RKHUP. Pasal 273 memuat ancaman pidana penjara bagi penyelenggara pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi tanpa pemberitahuan terlebih dahulu yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum.
Dalam pasal ini lagi-lagi mengisyaratkan bahwa ada upaya mengekang kebebasan berekspresi yang sebelumnya hanya sanksi administratif yaitu pembubaran menjadi sanksi pidana. Tentu sangat bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
Padahal RKUHP akan menjadi dasar hukum pidana di Indonesia yang akan berdampak langsung bagi kehidupan masyarakat luas. Sehingga, setiap kebijakan harus didasari oleh kepentingan rakyat dengan prosedur sesuai konstitusi yang ada serta mengutamakan transparansi dan partisipasi publik . RKUHP yang dirancang masih memiliki probematika, sehingga perlu di tinjau ulang kembali. Berdasarkan hal tersebut, BEM KM Universitas Mulawarman menyatakan sikap sebagai berikut :
- Mendesak Presiden dan DPR RI untuk membuka draf terbaru RKUHP dalam waktu dekat serta melakukan pembahasan RKUHP secara transparan dengan menjunjung tinggi partisipasi publik yang bermakna.
- Menuntut Presiden dan DPR RI untuk membahas kembali pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP, terutama pasal-pasal yang berpotensi membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi warga Negara.
- Apabila Presiden dan DPR RI tidak kunjung membuka draf terbaru RKUHP dan membahas pasal-pasal yang bermasalah sejak pernyataan sikap ini dirilis, maka kami akan melakukan aksi turun kejalan dan menimbulkan gelombang penolakan yang lebih besar di Kalimantan Timur.