etamnews.com – Samarinda. Hari ini, Selasa 8/03/2022, Direktorat Jenderal Hukum Umum (Ditjen AHU) melaksanakan Sosialisasi tata cara pengajuan grasi (pengampunan) bagi narapidana. Sosialisasi tersebut dilaksanakan di Aula lantai dua Lapas Kelas IIA Samarinda pada pukul 11.00 wita dan dihadiri perwakilan seluruh UPT Pemasyarakatan se Kota Samarinda dan Tenggarong.
Bertindak sebagai tuan rumah, Kalapas Kelas IIA Samarinda M. Ilham Agung Setyawan mengawali acara dengan menyampaikan sambutan. Dalam sambutannya Kalapas yang akrab disapa Ilham itu menyampaikan ucapan selamat datang sekaligus terimakasih kepada pihak Ditjen AHU yang telah hadir di Lapas Kelas IIA Samarinda untuk menyampaikan sosialisasi tentang tata cara pengajuan grasi.
Usai penyampaian sambutan dari Kalapas, acara dilanjutkan dengan penyampaian sambutan dari Kepala Divisi Pelayanan Hukum (Kadiv Yankum) Kanwil Kemenkumham Kaltim (Sri Lastami). Sri Lastami menyampaikan kepada seluruh perwakilan UPT pemasyarakatan yang hadir bahwa pengetahuan tentang dasar hukum dan tata cara pengajuan grasi sangat penting bagi seluruh petugas di UPT Pemasyarakatan, oleh karena itu ia berharap agar apa yang akan dipaparkan pihak Ditjen AHU nantinya dapat diserap secara maksimal.
Adalah Yennita Dewi yang menjabat sebagai Sub Koordinator Pelayanan Grasi Ditjen AHU bertindak sebagai narasumber yang memaparkan mengenai proses, tahapan, tata cara dan dasar hukum pengajuan grasi bagi warga binaan pemasyarakatan (WBP). Ia mengutip ketentuan dalam Permenkumham nomor 49 tahun 2016 tentang tata cara pengajuan permohonan grasi, bahwa permohonan grasi merupakan hak dari terpidana
untuk mendapatkan pengampunan dari Presiden atas hukuman yang telah dijatuhkan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Lebih jauh dalam pemaparannya Yennita (sapaan akrab) menjelaskan bahwa terkait pengajuan grasi terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yakni bahwa pengajuan grasi boleh diajukan oleh WBP yang mengalami sakit berkelanjutan dan tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan pembinaan dan perawatan di Lapas dan diutamakan bagi WBP yang telah berusia lanjut dengan kelompok umur diatas 65 tahun, kemudian bagi anak yang berkonflik dengan hukum, Yennita juga menyampaikan bahwa agar setiap petugas UPT Pemasyarakatan memahami bagaimana tata cara pengajuan grasi tersebut ia menyampaikan agar semua petugas di UPT Pemasyarakatan khususnya pada bidang terkait mempelajari dan menelaah ketentuan yang diatur dalam Permenkumham Nomor 49 tahun 2016 tentang tata cara pengajuan permohonan grasi.

Setelah narasumber menyampaikan pemaparannya, acara dilanjutkan dengan sesi diskusi, audiens yang terdiri dari para pejabat teknis di tiap-tiap UPT pun mengajukan beberapa pertanyaan terkait teknis dan alur pengajuan grasi. Kepala Bapas Samarinda, mempertanyakan perihal kondisi WBP di Lapas Tenggarong yang sudah mengalami sakit berkelanjutan dan saat ini sedang dalam proses pengajuan program Pembebasan Bersyarat (PB), namun demikian apakah WBP tersebut dapat mengajukan grasi. Yennita punmenyampaikan jawaban, bahwa selama WBP tersebut masih berada didalam Lapas, maka pengajuan permohonan grasi tetap dapat dilakukan.
Diskusi berlangsung dengan sangat dinamis dengan diskusi yang membahas problem-problem teknis yang ada di UPT, termasuk pembahasan terkait alur pengajuan permohonan grasi yang dianggap memakan waktu lama karena proses birokrasinya terbilang cukup panjang. Terkait dengan alur pengajuan permohonan grasi tersebut, pihak Ditjen AHU menjelaskan bahwa saat ini untuk memangkas birokrasi agar pelayanan bisa dilakukan lebih cepat, pihak Ditjen AHU sedang menyiapkan aplikasi layanan khusus pengajuan grasi. Sampai berita ini dirilis, Diskusi masih terus berlangsung di Lapas Kelas IIA Samarinda.
Sebagaimana diketahui bahwa Presiden sebagai Kepala Negara serta pemegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan memiliki hak prerogratif pada kepemimpinannya. Hak prerogatif adalah hak istimewa yang dipunyai oleh kepala negara mengenai hukum dan undang-undang di luar kekuasaan badan-badan perwakilan.
Grasi merupakan pengampunan yang diberikan Presiden Republik Indonesia berupa peringanan, perubahan, pengampunan, ataupun penghapusan pelaksanaan pidana yang dijatuhkan kepada terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah mendapatkan kekuatan hukum tetap. Dalam memberikan grasi, Presiden memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung (MA).(red.hai)