etamnews.com – Jakarta. Nusantara sebagai nama resmi Ibu Kota Negara (IKN) menuai pro dan kontra dari sejumlah pihak. Salah satunya ahli sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Arif Akhyat yang tak setuju dengan pemilihan nama Nusantara.
Dilansir dari detikedu, menurut Arif ditinjau dari kacamata keilmuan, ibu kota negara sebaiknya tetap merujuk pada nama asli dari wilayah tersebut. Nama baru dikhawatirkan menghilangkan aspek historis hingga sosial budaya dari wilayah tersebut.
“Nama ibu kota negara sebaiknya merujuk pada nama wilayah itu sebelumnya. Sebab, bila terjadi pemilihan nama baru untuk sebuah wilayah biasanya akan menghilangkan aspek historis dan konstruksi sosial budaya masyarakat yang sudah menempati sebelumnya,” kata Arif.
Dikutip dari laman UGM pada Kamis (20/1/2022), penamaan wilayah biasanya terkait dengan suatu riwayat. Menurut kajian sejarah, tiap nama kota atau ibu kota selalu memiliki kaitan dengan kemegahannya di masa lalu.
Staf Pengajar Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM ini juga menjelaskan makna kata Nusantara bila disematkan pada suatu wilayah. Kata Nusantara sebetulnya tidak mengandung perspektif negatif atau positif.
Pada dasarnya, makna kata Nusantara hanya merujuk pada wilayah di luar Pulau Jawa. Untuk itu, Arif menekankan bagaimana nantinya makna kata Nusantara terealisasi sebagai kebijakan politik.
“Jika diberikan nama itu untuk IKN ya itu soal nama. Tetapi bagaimana tafsir nama itu digunakan sebagai kebijakan politik untuk pemerataan, keseimbangan, keadilan pembangunan,” ungkapnya.
Meskipun demikian, Arif menegaskan, inti dari pemindahan IKN sebenarnya bukanlah perihal nama. Namun, pemindahan IKN ini harus lebih difokuskan pada persiapan secara komprehensif dan multidisipliner.
“Inti pemindahan IKN itu bukan soal nama, namun seberapa jauh persiapan yang dilakukan dengan berbagai analisis secara komprehensif dan multidisipliner. Jangan sampai pemindahan IKN hanya sebagai retorika politik dan praktik politik mercusuar,” katanya.
Arif juga mengingatkan pentingnya peranan berbagai bidang dalam mengatur keseimbangan pembangunan. Pemindahan IKN harus bersifat adil hingga skala makro, dengan tidak sekadar bersifat politis dan ahistoris.
Sejarah istilah Nusantara
Dalam tulisan tersebut, Arif mengulas sejarah kemunculan istilah Nusantara. Istilah ini sebenarnya tidak hanya muncul pada masa Kerajaan Majapahit. Kata Nusantara sudah ada sejak masa Kerajaan Singasari untuk merujuk wilayah pulau luar.
Menilik dari konsep Majapahit, istilah Nusantara meliputi wilayah seperti Bali, Melayu, Madura, Tanjungpura, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku, Lombok, dan Timor. Bahkan kawasannya juga mencakup negara tetangga yakni, Singapura, Malaysia, Champa, Cambodia, Annam, dan Siam.
“Jadi secara geografis, Nusantara lebih luas dari apa yang sekarang disebut Indonesia. Dengan sedikit ulasan tadi sebenarnya, Nusantara (itu) bukan Jawa, tetapi justru merujuk luar Jawa,” ujarnya.