Oleh : Abdussomad Fauzan
Sebenarnya saya enggan berkomentar tentang pengesahan UU IKN karena menurut saya banyak hal positif bagi Kaltim dan Indonesia terkait dengan pemindahan Ibukota Negara dari Jakarta ke Kaltim. Tentu saja banyak juga yang melihat pemindahan ibukota dengan pandangan minor, seperti misalnya dari aspek lingkungan hidup, ada yang menyebutkan bahwa keberadaan IKN dapat merusak ekosistem, kemudian isu IKN akan seperti “Kota Hantu” di Myanmar karena tidak ada yang mau pindah ke Ibukota Negara Baru dan lain sebagainya.
Menurut saya, semua isu tentang kekhawatiran mengenai hal ihwal pemindahan ibukota Negara itu sah-sah saja dan saya yakin semua menyampaikan pendapatnya dengan niat baik. Tetapi dalam tulisan ini saya tidak ingin mengomentari tentang hal tersebut. Saya ingin coba menyoroti hal yang lebih substansial terkait dengan UU IKN itu sendiri yang menurut saya penting untuk dicermati dari berbagai sudut pandang, baik sudut pandang hukum maupun sudut pandang sosial politik. Saya juga ingin mencoba melihat sudut pandang Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta yang tergabung dalam Kalimantan Universities Consortium (KUC) terkait dengan UU IKN.
Pertama, saya ingin mulai dari UU IKN itu sendiri yang menurut saya didalamnya terdapat semacam Penyimpangan atau dalam istilah hukum biasa disebut dengan istilah “Anomali” (weissh kayak ahli hukum aja). Dimana anomali-nya ? terkait anomali yang saya maksudkan adalah terletak pada sistem pemerintahan IKN itu sendiri yang secara jelas tertuang dalam pasal 8 UU IKN dimana dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pemerintahan khusus IKN akan diselenggarakan oleh Otorita IKN. Selanjutnya pada pasal 9, pemerintahan khusus tersebut dipimpin oleh Kepala Otorita IKN dan dibantu oleh Wakil Kepala Otorita IKN yang ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan langsung oleh Presiden.
Menurut saya, pasal-pasal tersebut merupakan anomali hukum sebab bertentangan dengan UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara, bertentangan karena kedudukannya sebagai Pemerintah Daerah namun perlakuannya khusus sebagaimana disebutkan dalam pasal 12 yang menjelaskan bahwa Otorita IKN Nusantara sebagai pemerintahan daerah khusus IKN diberi kewenangan khusus berdasarkan UU IKN. Hal ini dipertegas dalam pasal 13 UU IKN yang menyatakan IKN Nusantara dikecualikan dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur daerah pemilihan dalam rangka pemilu.
Kalau kita baca ketentuan UU IKN tersebut secara cermat, maka kita melihat perbedaan perlakuan antara Jakarta sebagai Ibukota dan Penajam Paser Utara (PPU) sebagai Ibukota, artinya, sekalipun Jakarta Daerah Khusus Ibukota Negara tetapi Gubernur dan Wakil Gubernur dipilih langsung melalui mekanisme pemilihan umum kepala daerah, kenapa ? karena ada masyarakat / rakyat didalamnya. Lalu bagaimana jika masyarakat / rakyat Kaltim atau katakanlah masyarakat PPU sebagai masyarakat yang tinggal di daerah IKN yang berhak untuk memilih dan dipilih justeru diambil haknya oleh pemerintah berdasarkan UU IKN ini. Apakah ini dibenarkan oleh UUD 1945 sebagai konstitusi Negara ? tentu tidak kan, didalam UUD 1945, dikatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Dari ketentuan “Kedaulatan berada di tangan rakyat” adalah bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan menyelenggarakan pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Kemudian secara spesifik diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) mengatur mengenai hak memilih seperti yang tercantum dalam Pasal 43 yang menyatakan, “Setiap warga mendapatkan hak dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil seusai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Belum lagi kalau kita bicara tentang Hierarki Perundang-Undangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011.
Dalam hirarki perundang-undangan, Indonesia menganut asas Lex Superior derogate Legi Inferiori yang mengandung arti peraturan yang lebih tinggi dapat mengesampingkan peraturan yang lebih rendah kedudukannya. Dengan demikian ketika UU IKN bertentangan dengan UUD 1945, maka menjadi penting untuk mengoreksi UU IKN khususnya terkait pemilihan Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN. Hal menurut saya bersifat mutlak, karena berkaitan langsung dengan nasib masyarakat Kaltim khususnya yang berada di wilayah IKN, meskipun nantinya secara administratif IKN terpisah dari pemerintahan provinsi Kaltim, namun secara sosiologis dan historis tetap saja mereka tidak bisa dipisahkan dari Kalimantan Timur. Tentu saja kita memahami dan bisa mentoleransi bahwa untuk pertama kalinya Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN boleh dipilih langsung oleh Presiden dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu atau berdasarkan diskresi, tetapi bukan untuk seterusnya berlaku demikian. Sebab itu menjadi sangat tidak adil bagi masyarakat IKN.
Sebagian orang akan mengatakan bahwa UU IKN merupakan lex spesialis yang berarti berlaku kekhususan bagi IKN, tetapi apakah kekhususan tersebut harus merenggut hak warga Negara ? alangkah malangnya nasib warga IKN yang hak nya diambil paksa Negara, sudahlah tidak dapat memilih pemimpinnya, baik Kepala dan wakil kepala otorita, tidak pula bisa memilih walikota IKN bahkan tidak bisa memilih gubernur dan wakil gubernur Kaltim secara otomatis. Bahkan warga IKN tidak bisa memilih wakilnya di DPRD, Saya kira ini masalah serius yang harus dipikirkan.
Belum lagi ketika kita berbicara siapa yang mungkin akan dipilih oleh presiden, apakah akan ada putra daerah Kaltim atau katakanlah Kalimantan yang akan dipilih sebagai kepala atau wakil kepala otorita IKN ? saya pribadi bahkan hampir kehilangan kepercayaan bahwa presiden akan mengambil putra daerah kaltim untuk menjadi minimal wakil kepala otorita IKN. Masih banyak sebenarnya jika harus dikupas tuntas, sayangnya tidak cukup hanya dengan tulisan, mungkin harus ada gerakan intelektual kaltim secara kolektif bersama-sama rakyat kaltim membahas persoalan ini dengan pemerintah pusat. Karena jika tidak maka hak-hak rakyat kaltim khususnya yang berada di IKN hampir pasti telah direnggut secara sewenang-wenang atas nama undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 dan tumpang tindih dengan undang-undang lainnya. Bayangkan, pemerintah mengambil hak asasi rakyatnya. Pikirkanlah ini.
Kedua, saya juga ingin sedikit mengomentari pertemuan 24 PTS/PTN yang tergabung dalam Kalimantan Universities Consortium (KUC), dari beberapa media online yang saya baca, pertemuan tersebut membahas beberapa hal dan yang paling terlihat apa yang disampaikan rektor unmul Prof. Mas Jaya, yang berfokus pada harus adanya Lembaga Sertifikasi Tenaga Kerja agar bisa mendorong sumber daya manusia (SDM) yang ada di Kalimantan untuk mengisi pembanguan di kawasan IKN, termasuk Unmul juga akan menjadi pendamping bagi masyarakat di kawasan IKN dengan mewujudkan Desa Tangguh Ekonomi, Desa Tangguh IT, Desa Tangguh Kesehatan, hingga Desa Tangguh Pendidikan di sekitar kawasan IKN.
Kemudian orasi ilmiah gubernur kaltim yang disampaikan dalam pertemuan KUC itu, dimana Kepala Bappeda Kaltim, Prof HM Aswin membacakan orasi ilmiah Gubernur Kaltim Isran Noor berjudul “Peran Perguruan Tinggi di Kalimantan dalam Persiapan IKN”. Dalam paparan Gubernur disebutkan ada banyak manfaat IKN bagi Kaltim dan Indonesia terutama dalam peningkatan investasi riil dan pertumbuhan ekonomi, termasuk peningkatan kesempatan kerja.
Terkait dengan ini saya ingin mulai dari apa yang dibahas oleh KUC pada 19-20 Januari 2022. Mengapa saya menyoroti pembahasan dalam pertemuan tersebut, karena sebenarnya saya sangat berharap universitas sebagai representasi dari masyarakat intelektual dapat melihat UU IKN dalam perspektif yang paling substansial, bukannya sekedar berbicara tentang hal-hal yang sifatnya sangat pragmatis dan teknis. Bagaimana bisa kita bicara tentang mendorong peningkatan SDM tetapi disisi lain kita membiarkan hak asasi rakyat kaltim dikebiri. Bagaimana bisa universitas bicara tentang peningkatan ekonomi melalui pembinaan desa dan seterusnya yang itu sebenarnya merupakan tugas utama pemerintah bukan tugas utama kampus. Tugas kampus yang utama itu pendidikan, penelitian dan pengabdian dalam konteks yang lebih luas bukan dalam pengertian teknis. Saya menjadi bingung dengan cara berpikir para “pendekar” akdemik kita di Kalimantan. Demikian dangkal dan pragmatis kah mereka sehingga terlihat sangat materialistis sampai-sampai melupakan salah satu hal yang sangat asasi.
Otorita IKN jika tidak disikapi secara kritis akan menjadi otoritarianisme baru bagi rakyat IKN, dimana rakyat tidak bisa memilih Gubernur, Walikota dan DPRD. Lalu jika rakyat ingin mengadu, kemana mereka mengadu ? mereka tidak punya kedaulatan, karena telah diambil oleh penguasa. Sementara Universitas hanya bicara soal, anggaran, peningkatan SDM, kemudian pemerintah hanya bicara soal pertumbuhan ekonomi, nilai investasi.
Selanjutnya, terkait dengan orasi ilmiah dari Gubernur Kaltim yang dibacakan oleh Kepala Bappeda Prof. HM. Aswin, yang menjelaskan bahwa dengan adanya IKN akan meningkatkan investasi riil sebesar 47,7 persen dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 7,3 persen. Kemudian bagi pulau Kalimantan, peningkatan investasi secara riil akan ada peningkatan 34,5 persen dengan pertumbuhan 4,7 persen. Sedangkan peningkatan kesempatan kerja di Pulau Kalimantan akan meningkat menjadi 10,5 persen dan secara nasional peningkatan kesempatan kerja akan naik 1,0 persen.
Tidak salah memang jika pemprov Kaltim berbicara dari perspektif pertumbuhan ekonomi dan investasi, tetapi menurut saya, pemprov Kaltim melupakan kewajibannya terhadap rakyat Kaltim khususnya yang berada di IKN, bukankah pemprov Kaltim memiliki visi “Berani untuk Kaltim Berdaulat”. Bagaimana bisa kita berdaulat ketika kedaulatan rakyat untuk memilih dan dipilih direnggut sedemikian rupa dan pemprov Kaltim hanya diam saja.
Jika tokoh-tokoh senior intelektual kita yang berada di Universitas-Universitas tidak lagi bisa memperjuangkan hak asasi masyarakat, kemudian pemerintah pun juga demikian, maka saya kira disinilah perlunya, generasi muda mengambil peran kepeloporan untuk menyuarakan secara lantang apa yang menjadi hak-hak rakyat Kaltim. Apa gunanya Ibukota Negara jika rakyat harus kehilangan haknya. Jangan sampai euphoria pemindahan IKN justeru membuat kita gagal dalam mempertahankan hak-hak masyarakat.
Karena itu saya berharap tokoh-tokoh pemuda Kaltim harus bersatu padu bersama dengan masyarakat adat dan masyarakat yang tinggal di kawasan IKN untuk menyuarakan dan memperjuangkan apa yang menjadi hak rakyat kaltim. Saya kira kesempatan itu masih ada, sebab Peraturan Presiden sebagai turunan dari UU IKN masih belum ditetapkan jadi menurut saya ini adalah peluang bagi rakyat Kaltim untuk meminta pemenuhan keadilan kepada pemerintah pusat bagi rakyat Kaltim.
#Save Kaltim, save masyarakat IKN.
Penulis adalah Sekretaris Umum Pemuda Panca Marga Kaltim, Penggiat Olahraga dan Juga Politisi Muda Kaltim.