Oleh : Sirajuddin Abdul Wahab (Inisiator GMPG)
Saya ingin mengawali tulisan ini dengan luahan kekecewaan saya terhadap kepemimpinan Airlangga Hartarto. Tentu saja saya tidak berbicara dalam sudut pandang subjektif untuk kepentingan orang perorang, tetapi saya menyatakan ini berdasarkan pandangan objektif yang memiliki landasan argumentasi yang sangat kuat, karena tidak hanya saya tetapi juga banyak kader partai yang saya yakini memiliki pikiran dan perasaan yang sama dengan saya, bahkan banyak pengamat politik juga memberikan pandangan yang minor terhadap keberadaan Airlangga Hartarto sebagai Nakhoda Partai Golkar terlebih sebagai calon presiden.
Sebagai seorang kader partai, mungkin ini adalah kritik dan evaluasi kesekian kalinya yang saya sampaikan kepada Ketua Umum Partai Golkar yang terhormat Bapak Airlangga Hartarto. Menurut saya penting untuk sekali lagi memberikan kritik dan evaluasi serta saran bagi beliau.
Terus terang sebagai kader partai golkar, saya merasa sangat prihatin dan kecewa dengan kondisi partai yang mana semua orang tahu bahwa partai ini adalah partai yang besar dan memiliki karakter yang kuat, oleh sebab itu meskipun dihantam dari berbagai sisi pada masa pra dan pasca reformasi, partai ini masih bisa keluar sebagai pemenang pemilu. Meskipun pada beberapa pemilu berikutnya hanya berada diposisi runer up dan puncaknya pada pemilu 2014 – 2019 hanya berada di urutan ketiga.
Ada beberapa hal menurut saya yang harus dan mendesak untuk segera dilakukan jika kita tidak ingin melihat partai Golkar yang kita cintai ini tenggelam :
1. Perlu Dilakukan Evaluasi Arah Perjuangan Partai.
Sangat perlu mengevaluasi arah perjuangan partai, karena selama kepemimpinan Airlangga Hartarto partai ini seolah-olah tidak punya arah yang jelas dalam rangka memenangkan pemilu 2024 mendatang, kenapa demikian ? karena sejak dipimpin oleh Airlangga, partai ini seolah hanya bekerja untuk meningkatkan citra diri pribadi semata, sehingga melupakan basis politik partai golkar yakni rakyat Indonesia.
Saya melihat bahwa ambisi untuk menjadi presiden dari seorang Airlangga Hartarto menjadikan dirinya lupa bahwa partai ini bukan miliknya sendiri. Seharusnya sebagai ketua umum tidak berpikir tentang kepentingan pribadi, tapi bagaimana kepentingan kolektif partai golkar dalam konteks nasional. Barangkali Airlangga lupa bahwa partai Golkar, besar bukan karena ketokohan semata, tetapi lebih dari itu adanya sistem partai yang bekerja secara maksimal disemua tingkatan. Seharusnya Airlangga belajar dari Mantan Ketua Umum Golkar yaitu, Akbar Tanjung dan Abu Rizal Bakrie, Akbar Tanjung memimpin ditengah kondisi partai yang sedang didera oleh berbagai pihak, tetapi partai Golkar justeru bisa menjadi pemenang pemilu. Kenapa ? karena Akbar Tanjung sama sekali tidak mengedepankan ambisi pribadinya, melainkan mengedepankan kepentingan partai. Akbar Tanjung berhasil membangun soliditas internal dan memperkuat posisi didaerah sebagai basis pemenangan partai. Demikian juga Abu Rizal Bakrie, meskipun memiliki karakter ketokohan yang kuat Abu Rizal Bakrie seperti halnya Akbar Tanjung, sama sekali tidak menguras energi partai untuk melakukan pencitraan dirinya.
Oleh karena itu, partai ini harus segera diselamatkan dengan cara kembali kepada arah perjuangan partai yang berbasis pada rakyat bukan pribadi ketua umum. Karena jika rakyat kembali kepada Golkar, maka bukan mustahil kader Golkar akan Berjaya memimpin Indonesia kedepan.
2. Golkar Berjuang Untuk Rakyat, Bukan Untuk Ketua Umum.
Pemahaman ini penting menurut saya ditanamkan didalam benak setiap kader partai, terutama ketua umum Airlangga Hartarto, bahwa perjuangan partai dari pusat sampai daerah adalah untuk kepentingan rakyat. Sekali lagi untuk rakyat, bukan untuk ketua umum. Ini yang menjadi masalah saat ini. Ketua Umum tidak memiliki karakter ini, sehingga ia berupaya menggerakkan partai untuk citra dirinya, bukan citra partai. Padahal berdasarkan hasil survey elektabilitas jelas bahwa meskipun telah dilakukan upaya sedemikian rupa elektabilitasnya tidak juga naik, bahkan sangat rendah, ini pasti akan mempengaruhi perolehan suara partai pada pemilu mendatang, karena itu saya kira sebaiknya Airlangga harus sadar diri dan realistis bahwa rakyat Indonesia tidak menginginkannya. Bahkan pemilih partai golkar sendiri pun tidak menginginkannya. Apa buktinya ? jika seandainya pemilih partai Golkar menginginkan dirinya menjadi pemimpin negeri ini, rasanya cukup untuk memberikan prosentase elektabilitas yang baik, tetapi faktanya nihil, bahkan berdasarkan Survey Indikator Politik Indonesia, tingkat keterpilihan-nya hanya 0,1-0,2 persen saja dan berada diurutan 29. Kemudian data survei Voxpol Center 0,8 persen, Logikanya, jika pemilih Golkar ingin Airlangga jadi Presiden, maka sebagai partai dengan suara terbesar ketiga seharusnya Airlangga ada level top 3, tapi yang terjadi justeru sebaliknya.
Gerakan Airlangga jelas sangat merugikan partai Golkar secara nasional. Dan sudah selayaknya keberadaannya sebagai ketua umum ditinjau ulang agar partai ini tidak tenggelam, karena saya yakin banyak kader-kader Golkar yang mau berjuang untuk partai dan mengembalikan kejayaan partai. Saya sebagai kader sangat khawatir, jangan-jangan Airlangga hanya menjadikan partai ini sebagai batu loncatan untuk mendapatkan posisi tertentu saja dipemerintahan, mungkin seperti saat ini, menjadi menteri yang itu tentu hanya menguntungkan dirinya pribadi, bukan partai secara kolektif. Bahkan menurut saya sebagai ketua umum seharusnya ia tidak menjabat sebagai menteri tetapi fokus pada pemenangan partai saja, biar posisi menteri di isi oleh kader-kader lain yang dianggap layak.
3. Jika Cinta Pada Partai Sebaiknya Airlangga Hartarto Mundur.
Ini mungkin menjadi bagian yang krusial bagi partai Golkar kedepan, dan bisa jadi akan ada yang menganggap bahwa apa yang saya sampaikan pada bagian ini adalah subjektif dan tidak berdasar, bahkan akan pihak yang nyinyir terhadap pandangan ini, tetapi saya sebagai kader yang perduli dan cinta terhadap partai Golkar tentu berhak menyampaikan pandangan saya yang berangkat dari kecintaan terhadap partai.
Mundur dan legowo untuk melepaskan posisi atau jabatan sebagai ketua umum menurut saya adalah pilihan yang bijak bagi Airlangga Hartarto, karena sejauh ini menurut hemat saya, gerakan yang dilakukan oleh Airlangga justeru membawa dampak sistemik bagi partai Golkar, faktanya, tidak hanya elektabilitas dia sebagai ketua umum yang anjlok bahkan elektabilitas partai pun ikut anjlok. Ini tentu terkait erat dengan kepemimpinan nasional partai. Jika memang Airlangga mencintai partai Golkar sebaiknya dia mengundurkan diri dari posisi ketua umum, mungkin dia sebaiknya berkonsentrasi untuk membantu Presiden Jokowi untuk menyelesaikan agenda kerja di pemerintahan. Biarkan partai Golkar dipimpin kader yang lebih muda dan progressif yang bisa lebih fokus untuk pemenangan partai pada pemilu 2024 nanti.
Saya menyampaikan ini karena saya sebagai kader ingin melihat partai Golkar kembali berjaya, bukan hanya saya tentu semua kader Golkar di seluruh Indonesia ingin melihat kembali kiprah partai Golkar sebagai partai besar karena memang partai Golkar adalah partai besar dengan segudang pengalaman. Bukan seperti sekarang, dimana partai Golkar hanya sebagai pelengkap saja. Tetapi untuk bisa mewujudkan kembali kejayaan partai, kepemimpinan nasional sangat dibutuhkan. Tentu Airlangga juga pasti mencintai partai ini, karena itu sebaiknya Airlangga mundur dari ketua umum. Agar partai ini bisa segera berbenah untuk menatap pemilu 2024 mendatang. Sebab jika tidak, maka partai hanya akan disibukkan untuk mengurus proyek pencitraan pribadi Airlangga yang tidak kunjung membaik. Karena itu sekali lagi dengan hormat atas dasar kecintaan kepada partai, saya menyarankan agar airlangga Hartarto mengundurkan diri dari jabatan ketua umum.
4. Para Sesepuh dan Kader Partai Lintas Generasi Harus Bergerak Menyelamatkan Partai
Saya kira ini saatnya, sebelum kita menyesal dikemudian hari. Sebagai kader saya berharap para sesepuh partai Golkar bersama kader-kader Golkar lintas generasi bahu membahu untuk menyelamatkan partai Golkar dari kehancuran. Kita tidak bisa berdiam diri dengan kondisi partai saat ini. Bagaimanapun semua harus bahu membahu mengembalikan kejayaan partai atau setidaknya meningkatkan elektabilitas partai. Kalau tidak, bisa jadi pada pemilu 2024 nanti kita semua akan menyesali hasilnya. indikator kearah itu sudah terlihat. Pertama, peringkat partai selama dipimpin oleh Airlangga sejak 2017 hingga pemilu 2019 tidak kunjung membaik, hanya berada di urutan 3 sama dengan pemilu 2014, kemudian data dari beberapa lembaga survey seperti Indonesia Elections and Strategic (indEX) Research dari 8,7 persen menjadi 7,0 persen, demikian juga hasil lembaga survey lainnya yang tidak memberikan kabar baik bagi elektabilitas partai.
Kalau kita lihat data diatas, ya suka tidak suka, mau tidak mau, kita harus segera berbenah lagi dan kembali memikirkan strategi yang tepat untuk bisa memenangkan partai pada pemilu 2024 nanti, dan menurut saya tidak bisa mengandalkan kepemimpinan Airlangga, karena data telah menunjukkan kerumitan bagi partai Golkar.
Tulisan ini mungkin akan membuat tidak nyaman bagi Airlangga Hartarto, tapi sebagai kader yang merasa memiliki partai Golkar dan memiliki tanggung jawab moral, maka saya harus mengatakan ini, seingga kita bisa bersama-sama mengevaluasi dan merekonstruksi arah perjuangan partai yang menurut saya sudah salah arah sejak dipimpin oleh Airlangga Hartarto.
Penting juga untuk saya sampaikan bahwa saya sama sekali tidak punya masalah dengan Airlangga sebagai ketua umum, sehingga apa yang saya suarakan ini murni suara kader partai, yang ingin melihat partai Golkar kembali pada kejayaannya.